Sabtu, 21 April 2012
Public Relation
Public Relations
yang diterjemahkan menjadi hubungan masyarakat (humas) mempunyaidua pengertian. Pertama, humas dalam artian sebagai teknik komunikasi atau
technique of communication
dan kedua, humas sebagai metode komunikasi atau
method of communication
(Abdurrahman, 1993: 10). Konsep
Public Relations
sebenarnya berkenaan dengan kegiatan penciptaan pemahaman melalui pengetahuan, danmelalui kegiatan-kegiatan tersebut akan muncul perubahan yang berdampak (lihatJefkins, 2004: 2).PR sendiri merupakan gabungan berbagai imu dan termasuk dalam jajaran ilmu-ilmusosial seperti halnya ilmu politik, ekonomi, sejarah, psikologi, sosiologi, komunikasi danlain-lain.Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini PR mengalami perkembangan yang sangatcepat. Namun perkembangan PR dalam setiap negara itu tak sama baik bentuk maupunkualitasnya.Proses perkembangan PR lebih banyak ditentukan oleh situasi masyarakatyang kompleks.PR merupakan pendekatan yang sangat strategis dengan menggunakan konsep-konsepkomunikasi (Kasali, 2005:1). Di masa mendatang PR diperkiraan akan mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Pemerintah AS mempekerjakan 9000 karyawan di bidangkomunikasi yang ditempatkan di United States Information Agency.
Perkembangan Humas di Dunia
Dalam sejarahnya istilah
Public Relations
sebagai sebuah teknik menguat dengan adanyaaktivitas yang dilakukan oleh pelopor Ivy Ledbetter Lee yang tahun 1906 berhasilmenanggulangi kelumpuhan industri batu bara di Amerika Serikat dengan sukes. Atasupayanya ini ia diangkat menjadi
The Father of Public Relations
.Perkembangan PR sebenarnya bisa dikaitkan dengan keberadaan manusia. Unsur-unsur memberi informasi kepada masyarakat, membujuk masyarakat, dan mengintegrasikanmasyarakat, adalah landasan bagi masyarakat.Tujuan, teknik, alat dan standar etika berubah-ubah sesuai dengan berlalunya waktu.Misalnya pada masa suku primitif mereka menggunakan kekuatan, intimidasi atau persuasi ntuk memelihara pengawasan terhadap pengikutnya. Atau menggunakan hal-halyang bersifat magis, totem (benda-benda keramat), taboo (hal-hal bersifat tabu), dankekuatan supranatural.Penemuan tulisan akan membuat metode persuasi berubah. Opini publik mulai berperan.Ketika era Mesir Kuno, ulama merupakan pembentuk opini dan pengguna persuasi. Padasaat Yunani kuno mulai dikembangkan Olympiade untuk bertukar pendapat danmeningkatkan hubungan dengan rakyat. Evaluasi mengenai pendapat atau opini publik merupakan perkembangan terakhir dalam sejarah kemanusiaan.Dasar-dasar fungsi humas ditemukan dalam revolusi Amerika. Ketika ada gerakan yangdirencanakan dan dilaksanakan. Pada dasarnya, masing-masing periode perkembangan.
Jumat, 20 April 2012
komunikasi politik
Wajah Komunikasi Politik di Indonesia
Dunia politik kini tidak lepas dari dunia komunikasi. Pasalnya, kegiatan politik dilandasi oleh komunikasi dalam menyampaikan ide, gagasan, pendapat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan negara. Menurut Almond (1960), komunikasi politik adalah bagian dari tujuh sistem politik yang tidak berjalan sendiri, karena komunikasi membantu sistem-sistem politik lainnya.
Komunikasi politik juga ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, karena komunikasi selalu ditemui di belahan dunia manapun. Untuk lebih memahami lagi apa itu komunikasi politik, ada baiknya hal ini dijabarkan dalam beberapa contoh peristiwa komunikasi politik di Indonesia.
Tulisan dapat dilihat juga di http://catatankomunikasi.blogspot.com/
Pemilihan Umum
Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden sudah tentu merupakan salah satu contoh komunikasi politik di Indonesia. Mengapa? Karena salah satu definisi politik adalah seni memperebutkan sesuatu, – dalam hal ini jabatan sebagai presiden.
Strategi dalam memperebutkan ‘bangku presiden’ ini salah satunya terdapat dalam pencitraan para calon presiden yang mengikuti pemilu.Pencitraan politik sebenarnya sudah merebak mulai Pemilu 1999 yang makin lama semakin berkembang hingga kini.
Masih ingat euforia Pemilu tahun 2009 lalu? Pencitraan Sutrisno Bachir, dari partai Partai Amanat Nasional (PAN), yang memanfaatkan momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional dapat kita lihat dari iklan berslogan “Hidup adalah Perbuatan”. Wiranto, dari partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), secara dramatis ikut makan nasi aking bersama warga miskin dan mengiklankan tiga seri iklan bertema kemiskinan. Megawati Soekarno Putri, dari partai PDIP Perjuangan, yang dulu jarang berkomentar bahkan mengkritik pemerintah dalam ungkapan-ungkapannya, hingga mengukuhkan citranya sebagai figur yang peduli dengan wong cilik. Jusuf Kalla, dari partai Golongan Karya (Golkar), hadir dengan slogan “Lebih Cepat Lebih Baik” dan “Beri Bukti, Bukan Janji” yang mengklaim keberhasilan pembangunan infrastruktur dan swasembada beras adalah hasil kontribusinya pada partai Golkar. Juga pencitraan Susilo Bambang Yudhoyono, dari partai Demokrat, yang mencitrakan hasil-hasil positif dari kinerjanya sebagai presiden di tahun sebelumnya, seperti penurunan harga Bahan Bakar Minyak, beras untuk rakyat miskin, peningkatan angka pendidikan, dan lain-lain.
Dalam bukunya, Komunikasi Politik (1993), Dan Nimmo menjelaskan bahwa setidaknya ada empat macam pencitraan politik, yaitu pure publicity(publisitas melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial apa adanya) yang dapat dilihat dalam pencitraan politik Sutrisno Bachir dengan slogan “Hidup adalah Perbuatan” dan memanfaatkan momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional, free ride publicity (memanfaatkan akses untuk publisitas) yang banyak terlihat pada kampanye dalam mensponsori kegiatan sosial di masyarakat, tie-in publicity (memanfaatkan kegiatan luar biasa untuk publisitas), dan paid publicity (publisitas berbayar lewat pembelian rubrik di media massa) yang terpampang pada advertorial di berbagai media massa dan spanduk-spanduknya.
Akan tetapi, politik akan berjalan dengan baik apabila komunikasi verbal dan nonverbal terjalin dengan baik pula. Citra yang sebenarnya akan dinilai bukan hanya dari tahap ‘pendekatan’ tetapi juga tahap ‘pacaran’, yaitu ketika para calon presiden yang telah terpilih menjadi presiden itu membuktikan apa yang telah dijanjikan dan dicitrakan sebelumnya.
Kebijakan Pembangunan Gedung DPR
Pemilu memang merupakan aktivitas komunikasi politik yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tidak hanya itu, kasus-kasus kecil dalam negara ini juga tak luput dari peristiwa komunikasi politik. Beberapa bulan silam peristiwa pembangunan gedung DPR baru bernilai milyaran rupiah sempat menuai banyak komentar dari masyarakat, terlebih komentar-komentar berbau negatif. Kebanyakan masyarakat menilai pembangunan gedung DPR baru merupakan suatu keborosan, karena banyak hal-hal tidak penting, seperti kolam renang dan fasilitas mewah lainnya, yang akan diadakan untuk memfasilitasi para petinggi negara tesebut. Masyarakat jelas menuai berbagai protes, apalagi melihat kinerja DPR yang masih dipandang negatif oleh mayoritas masyarakat.
Namun, nyatanya, Pramono Anung, wakil ketua DPR RI, dalam kuliah umum di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada beberapa bulan lalu menyatakan bahwa hal tersebut tidak benar dan hanya terjadi kesalahan komunikasi oleh konsultan yang menjelaskan sehingga menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat.
Komunikasi politik di atas menjadi salah satu komunikasi politik yang kurang efektif sehingga menimbulkan kesalahpahaman informasi antara pemerintah dan masyarakat.
Statement Foke Soal Pemerkosaan yang Dipicu Cara Berpakaian Perempuan
Selain itu, komunikasi politik juga terjadi pada pernyataan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, saat menanggapi masalah tindak pemerkosaan yang kini marak terjadi di angkutan umum dipicu oleh cara berpakaian perempuan. Foke, begitu Fauzi Bowo kerap disapa, pun langsung meralat statement-nya itu. Foke, yang dikutip dari Kompas Online, 17 September 2011, berkata, “Saya minta maaf, bahwa pernyataan saya sebelumnya salah tafsir, Saya sama sekali tidak bermaksud melecehkan kaum perempuan. Saya justru mengutuk aksi pemerkosaan tersebut, pelaku harus dihukum seberat-beratnya.”
Permintaan maafnya itu ia sampaikan karena pernyataan sebelumnya tentang rok mini menuai demo dari sekitar 50 perempuan yang menggelar aksinya di Bundaran HI, Jakarta, dengan memakai rok mini. Mereka menyatakan kekecewaannya terhadap ucapan Foke. Untungnya, Foke cepat menyatakan permohonan maaf.
Peristiwa tersebut termasuk dalam komunikasi politik, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik juga adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Hal ini menunjukan adanya komunikasi dalam dunia politik dalam menghadapi suatu masalah, yang mana komunikasi itu telah mewujudkan ruang dialog antara kalangan pemerintah dan kalangan masyarakat.
SBY Menanggapi Peristiwa SMS dan BBM Gelap
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia, juga merupakan salah satu orang yang berperan dalam dunia komunikasi politik di Indonesia. Bagaimana tidak, ia adalah orang yang dalam mewujudkan politik itu sendiri. Politik di sini, menurut Plato, adalah cara mewujudkan dunia cita masyarakat menjadi dunia nyata, dan tentunya ia sangat berpengaruh, bukan?
Maka ketika ada persoalan SMS (Short Message Service) dan BBM (BlackBerry Messenger) gelap yang menyerangnya pada 28 Mei 2011 yang mengaku sebagai Nazarudin dengan bunyi, “Demi Allah, saya M Nazarudiin telah dijebak, dikorbankan, dan difitnah. Karakter, karier, masa depan saya dihancurkan. Dari Singapore saya akan membalas…”, masyarakat banyak yang membicarakan hal itu.
Daniel Sparingga, Staf Khusus Presiden bagian Politik, menegaskan,“SMS penuh tudingan tak berdasar ini sangat baik bagi sebuah dorongan yang lebih besar untuk tetap rendah hati dan berbuat lebih banyak lagi untuk kebajikan. Lebih penting dari semua itu, negeri ini memiliki banyak persoalan serius dan Pak SBY adalah pribadi serius yang diperlukan negeri ini. Tidak satupun SMS semacam itu akan mengalihkan perhatian SBY dari hal-hal serius. (dikutip dari detikcom, pada 29 Mei 2011)“
Komunikasi politik dalam peristiwa ini terlihat pada presiden SBY dan stafnya yang angkat bicara dan mengomunikasikan pada masyarakat tentang permasalahan presiden yang diangkat secara berlebihan di berbagai media massa saat itu.
Melihat dari berbagai peristiwa di atas, komunikasi politik di Indonesia memang belum sepenuhnya efektif.Kebebasan berpendapat yang seharusnya digunakan dengan baik tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga oleh pemerintah, masih saja menuai konflik. Walaupun begitu, tanpa adanya komunikasi, politik di Indonesia akan pincang karena kehilangan salah satu sistemnya.
Komunikasi Politik
Pluralisme Pemilihan Gubernur DKI
Masih ingat bagaimana kecewanya warga Jakarta pada pemilukada tahun 2007 silam. Ya, ketika ibukota yang seharusnya menjadi barometer pluralisme dan demokrasi ini ternyata hanya memiliki dua pasang calon yang bertarung dalam pemilihan gubernur. Keduanya juga bukanlah orang yang punya record kepemimpinan yang mengesankan dan populer di mata masyarakat Jakarta. Alhasil seperti bisa ditebak, golput merajai banyak TPS pada waktu itu. Yang menang adalah oligarki partai yang selalu bergerombol untuk mencari celah transaksi politik. Outputnya, pasangan Fauzi Bowo dan Priyanto yang digadang-gadang koalisi mayoritas partai, harus pecah kongsi di tengah jalan karena kawin paksa politik.
Lima tahun berselang, kekhawatiran akan terulangnya kejadian serupa terus membayangi banyak warga Jakarta. Mengingat dari survei beberapa lembaga, popularitas dan elektabilitas incumbent Fauzi Bowo masih yang tertinggi. Harapan mulai tampak dari munculnya dua pasang calon independen yaitu Faisal Basri – Biem Benyamin dan Hendardji Soepandji – Riza Patria, yang keduanya kini sedang menghadapi verifikasi faktual akhir dari KPUD. Setelah pada pilkada 2007, calon independen masih harus menonton dari pinggir lapangan saat partai politik beraksi dan bertransaksi. Kini mereka bisa ikut meramaikan pertarungan di tengah lapangan, meskipun persyaratannya sangat tidak mudah.
Calon Independen menstimulus hadirnya calon terbaik
Buruknya komunikasi politik incumbent, serta hadirnya bursa calon independen ternyata menjadi salah satu pemicu partai politik untuk berlomba memunculkan calon terbaiknya. Kekhawatiran akan kembalinya dominasi Foke ternyata tidak terbukti. Proses penentuan bakal calon gubernur dan wakil gubernur oleh partai politik memang memunculkan tarik menarik hingga akhir batas tenggat waktu yang menarik untuk diikuti. Disinilah partai politik seakan terpacu untuk mengusung kader terbaiknya yang memiliki pengalaman memimpin daerah, populer, dinilai bersih dan berintegritas untuk bertarung.
Golkar yang sejak jauh hari mengatakan akan memilih cagubnya lewat survei, ternyata memilih sosok Alex Noerdin dan Nono Sampono yang tidak masuk dalam peredaran rekomendasi survei. Alex dipilih selain karena dinilai sukses sebagai bupati dua periode dan Gubernur Sumsel, dia juga mampu menggandeng dukungan dari dua partai yakni PPP dan PDS.
Meskipun masih bimbang di tingkat grass root karena nama Alex dan Nono sekonyong – konyong muncul, para elit kedua partai ini sepakat untuk mendukung penuh. Dari beberapa sumber dan media, diketahui bahwa mahar agar PPP mendukung Alex ternyata bernilai puluhan milyar. Sponsor kabarnya datang dari pengusaha dan penguasa tanah abang yang kini jadi menteri. Sang menteri diketahui publik memang sudah lama terlibat cekcok dengan Foke terkait penguasaan blok A tanah abang, yang amat menggiurkan dari segi bisnis itu.
Partai Demokrat yang mengalami kegalauan stadium lanjut terkait pilkada DKI, setelah sempat mengeluarkan statement akan menduetkan Foke dengan Adang Ruchiatna akhirnya menjatuhkan pilihan pada pasangan ”jeruk makan jeruk” Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Keduanya asal Betawi, separtai , serta menjadi Pembina berbagai orgnisasi keBetawian seperti Bamus Betawi, FBR, Forum Betawi Bersatu dll. Namun Golkar dan Demokrat tetap percaya bahwa komposisi sipil – militer tetap jadi pilihan, meskipun terbukti gagal jika berkaca pada duet Foke – Prijanto.
PKSpun yang selama ini menggadang nama Triwaksana, ketika mulai melihat pihak Demokrat menutup pintu koalisi dengan PKS, maka mereka mengeluarkan amunisi terakhirnya yaitu mencalonkan Hidayat Nurwahid, yang dipasangkan dengan Prof.Didik J Rachbini salah satu Ketua DPP PAN. Meskipun tidak didukung secara formal oleh PAN yang sudah menyatakan dukungan ke Foke, sosok Hidayat dinilai punya daya jual yang tinggi di Jakarta. Pada pemilu 2004, Hidayat Nurwahid adalah satu dari dua orang anggota parlemen terpilih yang berhasil mendapat suara mencapai bilangan pembagi pemilih.
Yang menarik adalah pilihan PDIP yang memutuskan untuk berkoalisi dengan Gerindra. Setelah hampir terjebak pada pragmatisme yang didorong Taufik Kiemas untuk berkoalisi mendukung Foke dengan potensi kemenangan dan uang yang besar , akhirnya pilihan jatuh pada Joko Widodo dan Ahok. Walikota Solo dan mantan Bupati Belitung Timur yang dikenal bersih dan sukses memimpin daerahnya. Jokowi misalnya, selain berhasil merelokasi PKL yang sudah puluhan tahun membuat semrawut dengan damai, juga sukses dengan program reformasi birokrasi pelayanan publiknya. Sementara Ahok seorang keturunan tionghoa disamping sukses memberikan jaminan asuransi kesehatan dan pendidikan untuk masyarakatnya di Belitung Timur, kehadirannya juga memperkuat identitas pluralitas Jakarta.
Adanya 6 pasangan calon pemimpin Jakarta yang sudah mendaftar, selain mampu memperkuat nilai demokrasi juga mampu mengakomodasi keberagaman warna etnis, tingkat ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan warna politik warga Jakarta. Sejak era reformasi , tidak ada partai yang secara terus menerus bertahan menjadi penguasa di Jakarta. Di pemilu 1999 PDIP yang unggul, sementara PKS menjadi nomor satu di 2004, dan yang terakhir mendapat giliran menang di ibukota adalah Partai Demokrat. Tidak ada teori yang secara pasti bisa menjawab, selain fakta begitu dinamisnya politik Jakarta.
Menurut Survei terakhir Indobarometer, setelah melihat ada 6 calon yang akan bertarung, lebih dari 80 persen warga Jakarta menyatakan berniat memakai hak pilihnya di Pilkada bulan Juli nanti. Diharapkan di pilkada yang akan diprediksi dua putaran ini, warga DKI betul – betul menggunakan hak pilihnya secara bijak. Karena jika semakin banyak yang golput, maka calon incumbent yang kini berkuasa diprediksi akan makin mudah melenggang.
Wimar Witoelar pernah mengatakan, jika anda bingung atau bahkan tidak tahu mau memilih calon yang mana dalam sebuah pemilu, maka lihatlah siapa saja orang yang mendukung atau berdiri bersama calon itu. Karena setiap calon yang baik, pasti akan didukung oleh orang – orang yang baik pula.
Komunikasi Politik
Komunikasi Politik di Indonesia
Di
era Suharto, DPR sering dijuluki Tiga-D: Duduk, Dengar, Duit.
Komunikasi yang berlaku di masa itu adalah komunikasi searah, yaitu
komunikasi dari atas ke bawah (top-down). Presiden memberikan petunjuk
dan pengarahan, langsung disetujui oleh DPR (yang selalu didominasi oleh
Golkar) dan para menteri serta gubernur. Kemudian Gubernur memberi
petunjuk dan pengarahan kepada DPRD tingkat I dan para Bupati, dan
Bupati ke DPRD tingkat II dan para camat, dan begitu seterusnya sampai
pada tingkat desa.
Untuk
mengelola negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk yang
meningkat terus dari hampir 200 juta, sampai sekarang sudah mencapai 210
juta, dan heterogenitas penduduk yang sangat luar biasa, sistem
komunikasi politik searah ini sudah terbukti sangat efektif selama 32
tahun. Tetapi sistem komunikasi ini terbukti tidak bisa bertahan
selamanya. Bersamaan dengan Krisis Moneter yang berkembang juga menjadi
Krisis Politik, rezim Suharto pun tumbang, dan pola komunikasi langsung
berubah arah: dari bawah ke atas (bottom-up).
Namun
pola komunikasi bawah-atas ini, langsung terbukti sama tidak
efektifnya. Bahkan lebih tidak efektif, karena jika semasa Suharto yang
terasa adalah keluhan pihak-pihak yang frustrasi karena aspirasinya
tidak tersalur (misalnya: kelompok PDI Mega, Petisi 50, mahasiswa dsb.),
pada era pasca-Suharto, yang terjadi adalah anarkhi yang tidak
habis-habisnya, sehingga dalam tempo singkat presiden RI berganti 4
kali. Masalahnya, dalam pola atas-bawah, maupun bawah-atas, sama-sama
tidak terjadi dialog (komunikasi dua arah), yang terjadi hanya monolog
(komunikasi searah).
Dari Monolog ke Dialog
Semangat
dialog nampak sangat mencuat sejak reformasi. Salah satu jargon yang
sangat sering diucapkan dalam menyikapi berbagai masalah adalah “duduk
bersama”. Seakan-akan semua masalah, dari kasus tawuran antar agama di
Ambon dan Maluku Utara, konflik antar etnik di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Selatan, sampai kasus DOM Aceh, Tanjung Priok dan Timor
Timur, dapat diselesaikan asalkan semua pihak mau duduk bersama.
Tetapi
fakta juga membuktikan bahwa duduk bersama saja tidak bisa
menyelesaikan apa-apa, jika semuanya hanya mau bicara dan mau
didengarkan. Padahal menurut ilmu psikologi, salah satu syarat paling
utama untuk sebuah dialog adalah kemampuan untuk mendengar aktif.
Mendengar aktif, artinya bukan hanya bisa mendengar (to hear), tetapi
juga mencari makna dari balik apa yang didengar (to listen), bahkan
orang yang mendengar aktif, mampu menduga hal-hal yang tidak
terungkapkan dalam kata-kata maupun perbuatan. Buat seorang yang
mendengar aktif, “diam” adalah juga jawaban yang mengandung makna.
Karena itu tidak sulit diterka, bahwa untuk mendengar aktif, yang
merupakan prasyarat dari komunikasi yang dialogis, diperlukan kesiapan
mental tertentu, yaitu kesiapan untuk berbagi (sharing), melepaskan
sebagian pendapat, bahkan haknya untuk bisa menerima pendapat atau hak
orang lain. Sikap yang ngotot, mau menang sendiri dan merasa benar
sendiri, jelas bukan hal yang kondusif untuk mendengar aktif.
Dari
pengalaman selama ini, kiranya sulit untuk dibantah bahwa kesiapan
mental untuk berdialog antara lembaga eksekutif dan legislatif di negara
kita masih jauh dari kenyataan. Istilah yang digunakan pun adalah
“hearing” oleh DPR, bukan “listening”. Demikian pula DPR (DPRD)
“memanggil” pemerintah (pemerintah daerah), persis seperti polisi
memanggil tersangka. Sedangkan tata letak kursi-meja di ruang-ruang
sidang komisi adalah sedemikian rupa sehingga ketua dan para wakil
ketua, disertai para anggota duduk berhadapan dengan pemerintah (atau
pihak lain yang didengar), persis sama dengan para hakim dan panitera,
menghadapi terdakwa dan para saksi. Pendek kata, dalam tata-tertib
hubungan pemerintah dan DPR, yang ada adalah hubungan a-simetris (DPR
lebih tinggi dari pemerintah), bukan hubungan simetris (sejajar).
Hubungan
a-simetris tidak selalu berarti jelek. Di lingkungan militer, dan
perusahaan-perusahaan berteknologi tinggi yang menuntut zero error
(misalnya: anjungan penambangan minyak, pesawat terbang atau kapal
laut), dialog tetap bisa terjadi, walaupun pola komunikasinya a-simetris
(tentunya melalui prosedur yang baku dan diberlakukan dengan sangat
ketat). Syaratnya hanya satu: kedua pihak (atasan maupun bawahan)
sama-sama menyadari peran dan posisinya masing-masing.
Masalahnya,
anggota-anggota DPR kita, tidak siap untuk menerima peran dan posisi
setara dalam komunikasi dialogis dengan pemerintah. Walaupun selalu kita
dengar ucapan para politisi itu tentang kemitraan dan kesetaraan
Pemerintah-DPR, yang ada justru pola komunikasi yang a-simetris seperti
yang sudah diutarakan di atas.
Bahkan
lebih memprihatinkan lagi, para anggota DPR ini tidak hanya menganggap
pemerintah sebagai pihak yang statusnya lebih rendah, melainkan juga
sesama anggota DPR sendiri. Itulah sebabnya sebulan pertama, DPR tidak
bisa mulai bekerja, karena dua fraksi besar dalam DPR saling berselisih
dan salah satu fraksi memilih untuk tidak masuk kantor saja selama
sebulan. Lebih hebat lagi, pada saat membahas tentang kenaikan harga
BBM, para anggota DPR bukannya saling adu argumentasi dengan pemerintah,
tetapi malah saling berkelahi di antara mereka sendiri.
Tidak Siap Jadi Elit
Yang
menarik, sebagian dari anggota DPR itu, beberapa saat sebelum dilantik
adalah anggota masyarakat biasa. Ada yang artis, LSM, dosen, kiai dsb.
Sebagai anggota masyarakat biasa, banyak (walaupun tidak semua) yang
mempunyai reputasi yang baik: tidak punya track-record yang jelek,
berintegritas, punya komitmen yang tinggi, pandangan-pandangannya
mewakili pendapat rakyat dan seterusnya. Tetapi justru semuanya berubah
setelah beliau-beliau menjadi anggota badan legislatif. Di daerah pun
gejalanya sama.
Di
lingkungan pemerintah (pusat maupun daerah), ternyata gejalanya tidak
jauh berbeda. Kasus KPU misalnya, kalau pelanggaran pidananya benar
terbukti, menunjukkan kepada kita betapa orang-orang berintegritas
tinggi, bisa berubah sikap begitu masuk ke jajaran elite. Demikian pula
halnya dengan para kepala daerah dan pejabat-pejabat daerah (tingkat
propinsi maupun kabupaten) yang dikenal sebagai orang yang berintegritas
tinggi, namun disuruh turun oleh rakyat begitu mereka menduduki
jabatannya. Di tingkat partai politik, hampir tidak ada orang yang bisa
terpilih menjadi ketua umum, tanpa menuai protes dari kelompok
pesaingnya. Dan sikap yang diambil oleh yang menang maupun yang kalah
adalah sikap konfrontatif (adu otot), karena memang rata-rata orang
Indonesia masih lebih mengandalkan otot ketimbang hati sanubari.
Kesimpulannya,
nampaknya watak bangsa Indonesia hanya baik jika mereka menjadi rakyat
jelata, namun segera berubah ketika mereka masuk ke tingkat elit. Dengan
perkataan lain, sebagian terbesar masayarakat Indonesia hanya siap jadi
rakyat, tetapi tidak siap untuk menjadi elit. Begitu menjadi elit (apa
pun, tidak hanya anggota DPR dan Pemerintah) maka akan terjadi perubahan
mental yang signifikan. Karena itulah orang Indonesia lebih disiplin
kalau dipimpin atau dimanajeri oleh seorang “bule”, ketimbang oleh
pribumi sendiri.
Menurut
para pakar, ada dua macam jalan keluar dari komunikasi yang macet ini.
Sebagian pakar (seperti John Naisbit, penulis buku “Milenium ke-Tiga”,
dan Tu Weiming, Guru Besar Sejarah Agama-agama dari Universitas Harvard)
berpendapat bahwa proses chaos ini akan berakhir sendiri, karena hanya
merupakan bagian dari proses evolusi teknologi komunikasi dan informasi
yang berskala jauh lebih besar, yang pada satu titik akan mencapai
keseimbangan (equilibrium) sendiri secara alamiah (nilai baru, norma
baru, tatanan masyarakat baru dsb. yang lebih adil, lebih manusiawi
dsb.). Tetapi kapan saat itu akan tiba? Tidak ada yang bisa memastikan.
Pendapat
kedua adalah dengan intervensi yang sistimatis dan terprogram.
Paradigma inilah yang ditawarkan Suharto dulu, tatkala ia akan lengser.
Dia menyatakan akan menata dulu pemerintahan selama 6 bulan ke depan,
dan setelah itu ia tidak akan mencalonkan diri lagi menjadi presiden.
Namun rupanya tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh masyarakat yang
sedang haus demokrasi. Pasalnya, memang intervensi atau social
engineering menuntut pengorbanan, seperti: rakyat harus diatur dengan
ketat, beberapa kebebasan ditarik dari masyarakat dsb. (seperti yang
terjadi di Malaysia dan Singapura), padahal hal-hal yang harus
dikorbankan itu, justru yang baru kita peroleh melalui reformasi dan
pengorbanan jiwa. Maka terjadilah seperti yang kita alami sekarang.
Mana
dari kedua strategi itu yang akan diikuti, kiranya akan sangat
tergantung kepada kemampuan dan kemauan pemerintah, khususnya presiden
dan wakilnya. Presiden dan wapres hasil Pemilu langsung sebenarnya
mempunyai posisi yang sangat kuat dan tidak bisa begitu saja di dikte,
apalagi di-impeach oleh DPR. Karena itu ia cukup punya legitimasi untuk
menentukan pola permainan dan komunikasi politik yang akan berlaku.
Kalau perlu dengan sedikit ketegasan. Gejolak pasti terjadi, tetapi
tidak akan lama, karena kalau rakyat sudah melihat manfaatnya, maka
protes akan berhenti dengan sendirinya (analoginya: Busway di DKI,
awalnya sempat mengundang protes, tetapi sekarang hampir semua orang
pernah menikmatinya, dan protes pun segera terhenti dengan sendirinya).
Namun
kalau presiden masih tetap lebih suka mendengarkan dan mempertimbangkan
suara-suara sumbang yang tidak habis-habisnya, termasuk dari golongan
yang sudah jelas-jelas bersalah di mata hukum (seperti pedagang kaki
lima, pengunjuk rasa yang membakar foto Presiden dsb.) demi demokrasi
itu sendiri, maka memang kita tidak bisa mengharapkan banyak dari
komunikasi-komunikasi antara DPR dan pemerintah di masa yang akan
datang.
Komunikasi Politik
DAMPAK KOMUNIKASI POLITIK PARA POLITISI
Cara komunikasi para politisi dalam berkampanye belakangan ini,
menurut penilaian pakar komunikasi politik Effendi Gazali, memiliki
dampak negatif dan positif, atau fifty-fifty. Komunikasi yang
dilakukan untuk menggambarkan nilai-nilai atau pesan moral para politisi
melalui media massa, tidak sepenuhnya positif, dan tidak pula
sepenuhnya negatif. Pencitraan diri yang berusaha diciptakan para kader
partai politik tersebut bisa sampai kepada masyarakat. Namun tidak
selamanya cara tersebut yang paling efektif, apalagi dana yang
dikeluarkan begitu besar.
Pernyataan tersebut disampaikan
dosen yang juga menjabat sebagai Koordinator Program Master Komunikasi
Politik Universitas Indonesia itu kepada SP seusai memberikan
sebuah pidato ilmiah di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Jumat
(18/7). Pidato ilmiah diadakan juga dalam rangka Dies Natalis ke-48
Unika Atma Jaya, sekaligus dibentuknya Jurusan Komunikasi di Fakultas
Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya, yang diperkirakan akan dibuka pada
tahun 2009 mendatang.
Kendati Effendi tak menyebutkan
secara detail mengenai apa yang menjadi dampak negatif dan positif dari
komunikasi politik yang terjadi belakangan ini, namun secara garis besar
ia menjabarkan beberapa analisisnya terhadap fenomena tersebut.
Dalam pidato ilmiahnya yang bertajuk Mencari Kejernihan di Tengah Tingginya Kegairahan: Peran Komunikasi dalam Bisnis dan Politik di Indonesia Masa Kini,
Effendi mengambil salah satu contoh cara komunikasi yang marak
digunakan oleh para politisi dalam berkampanye akhir-akhir ini, yaitu
iklan dengan tema "Hidup itu adalah perbuatan", milik kader Partai
Amanat Nasional, Sutrisno Bachir.
Mengkonfirmasi jumlah tersebut, dengan mengutip perkataan Sutrisno Bachir, yang mengatakan bahwa dirinya hanya meminta jajaran partai tidak merasa iri.
Toh Anda tak akan mampu menghitung," demikian kata Sutrisno Bachir, seperti yang ditiru Effendi.
Melihat
kenyataan tersebut, Effendi mengutarakan pula rasa herannya menyangkut
masyarakat yang menurut pengamatannya, justru seolah-olah tidak heran
lagi dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sudah berjalan
ratusan kali serta menghabiskan biaya untuk membayar tiket akomodasi
dari partai-partai politik. Belum lagi biaya kampanye dan dukungan tim
sukses serta sukarelawan, sampai antara Rp 5 hingga Rp 100 miliar lebih.
Padahal,
katakanlah gaji resmi gubernur dan berbagai tunjangannya diperkirakan
maksimal sekitar Rp 15 juta rupiah per bulannya, maka jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk berkampanye dapat dikatakan setara dengan total 60
bulan masa jabatan dikalikan dengan 15 juta. Bahkan itu pun masih baru
berjumlah sekitar Rp 900 juta dan belum dipakai untuk kehidupan
sehari-hari.
Komunikasi
Kembali meminjam
perkataan seorang pakar komunikasi, Victor Menayang, bahwa pada
tahun-tahun jatuhnya rezim Soeharto, terdapat minat yang meningkat
terhadap pendekatan kritikal dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk komunikasi
dan studi-studi media, sebagai alat atau senjata untuk memerangi
kekuasaan otoriter.
Tren-tren tersebut, menurut Effendi
juga masih berlangsung hingga saat ini, mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam
jumlah yang juga meningkat, tertarik mempertanyakan kekuasaan,
distribusinya, dan bagaimana pembacaan atau interpretasi terhadap media
yang sedang dilakukan oleh khalayak.
Segera setelah
kejatuhan Soeharto, gerakan-gerakan reformasi memaksa pemerintah baru
untuk melakukan deregulasi industri media. Liberalisasi ini memungkinkan
industri untuk berkembang baik berupa media. Ilmu Komunikasi dengan
cepat menjadi salah satu dari lapangan perguruan tinggi yang paling
kompetitif di Indonesia.
Bahkan mahasiswa membanjiri
sekolah-sekolah Ilmu Komunikasi, memperebutkan terutama kursi-kursi di
program-program seputar penyiaran.
Di Universitas Indonesia, imbuhnya, komunikasi politik memiliki tujuan utama sebagai well-informed voter atau well-informed citizen.
Pada
akhir pidato ilmiahnya, Effendi mengatakan bahwa beberapa pendidikan
Ilmu Komunikasi, menurutnya, tidak secara langsung menangkap esensi
komunikasi bisnis dan meletakkannya pada entitas studi strategic communication yang
di dalamnya dapat menaungi mata kuliah atau kekhususan, seperti
Komunikasi Pemasaran, Komunikasi Bisnis, Komunikasi Korporat, bahkan
Manajemen Komunikasi Politik. Dengan demikian, ia berharap masukan
tersebut dapat berguna bagi Jurusan Komunikasi yang akan segera dibuka
dalam Fakultas Ilmu Administrasi, Unika Atma Jaya.[WWH/R-8]
Komunikasi Politik
Komunikasi Politik yang Rasional
BELUM lagi sehari berlalu ketika banyak orang takjub, bangga, dan sebuncah perasaan optimistis menyimak kabar Wali Kota Solo Joko Widodo dan Wakil Wali Kota Hadi Rudyatmo menjadikan mobil Esemka sebagai mobil dinas, sudah muncul kontroversi seputar keputusan tersebut. Adalah Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo yang menyatakan langkah itu merupakan tindakan sembrono. Tanpa tedheng aling-aling khas Bibit, dia mengatakan, keputusan pejabat tidak perlu didasari cari muka.“Bangga itu boleh. Bangga bahwa anak-anak kita bisa berkarya luar biasa. Tapi kebanggaan itu yang terukur dong. Lha ini belum apa-apa, teruji saja belum kok sudah ada yang berani pasang pelat nomor (untuk kendaraan dinas ). Sembrono itu namanya. Kalau nanti sampai nabrak kebo gimana. Tidak usah cari muka lah,” sergah Bibit saat ditanya wartawan menanggapi penggunaan mobil Esemka itu.
Mobil Esemka adalah hasil rakitan siswa-siswa SMKN 2 dan SMK Warga Surakarta, yang 80 persen komponennya dibuat di Batur, Klaten. Dua mobil bertipe Super Utility Vehicle (SUV) warna hitam metalik itu diciptakan para siswa dengan dukungan Kiat Motor dan Autocar Industri Komponen.
Setelah media massa memberitakan bahwa mobil rakitan siswa itu sebagai mobil dinas wali kota Solo, tiba-tiba saja Esemka bukan lagi sebagai mobil sebagai alat mobilitas. Ucapan Bibit Waluyo jelas menyiratkan bahwa oleh Jokowi, mobil itu telah dimanfaatkan sebagai bahan komunikasi politik dengan harapan muncul pencitraan tentang sosok Jokowi yang apresiatif dan mendukung karya anak bangsa.
Ada kerangka teori yang bisa menjelaskan hal itu, yakni teori komunikasi politik empati. Menurut teori ini, komunikasi politik diukur dari keberhasilan komunikator (subjek komunikasi) memproyeksikan diri dalam sudut pandang orang lain. Komunikasi politik berhasil apabila dapat menanamkan citra diri si komunikator dalam suasana alam pikiran masyarakat, atau secara ringkas, membangun empati masyarakat.
Jika Bibit seorang teoretikus, mungkin dia akan mengatakan kalau keputusan menggunakan Esemka sebagai mobil dinas lebih pas dipandang sebagai bagian dari komunikasi politik simbolik dan bukan sebagai keputusan kebijakan publik. Dalam komunikasi politik itu, elemen-elemen simbolik lebih kuat dibandingkan elemen-elemen rasional. Pertimbangan-pertimbangan rasional-teknis seperti misalnya aspek uji kelayakan, sertifikasi produk berada di belakang pertimbangan-pertimbangan pesan simbolik seperti apresiasi terhadap kreativitas, nasionalisme, kebanggaan pada karya anak bangsa, dan semacamnya.
***
Apakah Jokowi dan Hadi Rudyatmo keliru dalam keputusannya? Apakah Bibit Waluyo keliru dalam penilaiannya? Persoalan sebetulnya terletak pada komunikasi politik kedua belah pihak. Kasus “mobil Esemka” menjadi pelajaran yang menarik tentang betapa rumit dan kompleksnya praktik-praktik komunikasi, khususnya dalam hal ini adalah komunikasi politik antara pejabat publik dengan rakyat. Masyarakat tentu tidak dapat disalahkan ketika membingkai pernyataan Bibit dengan fakta “sejarah perseteruan” antara Jokowi dan Bibit beberapa bulan lalu. Karena itu, sekali lagi bingkai komunikasi politik sebetulnya bisa menjernihkan pandangan, melengkapi yang tidak utuh, dan mengoreksi cara komunikasi yang tidak tepat.
Komunikasi adalah berkah sekaligus kutukan. Seperti disimbolkan dalam kisah Menara Babel, umat manusia terpecah-belah ketika berkomunikasi tetapi tidak saling memahami karena masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda.
Kemampuan bahasa dan reproduksi saluran-saluran komunikasi adalah lompatan peradaban manusia, mendekatkan jarak sehingga muncul istilah global village tetapi juga memisahkan satu sama lain dalam jurang persepsi. Begitu banyak persoalan, mulai dari hubungan antara dua manusia, pada tingkat keluarga, kelompok kecil, masyarakat, hingga korporasi dan negara-bangsa, muncul akibat problem komunikasi.
Dalam kehidupan politik, hubungan antara elite dan publik, persoalan-persoalan komunikasi menjadi salah satu kajian yang tergolong esoteris dalam khazanah ilmu-ilmu sosial. Pada konteks Indonesia, kita mengalami bauran kompleksitas komunikasi politik akibat komunikasi gaya Amerika yang menekankan pada aspek pencitraan, sehingga sering pula disebut politik pencitraan. Penulis menyebutnya sebagai “gaya Amerika” karena modus komunikasi politik pencitraan secara sistematis melalui pemanfaatan media massa pertama kali dipraktikkan oleh Lyndon B Johnson saat bertarung dalam pemilu Amerika Serikat.
Pada 7 September 1964, tim kampanye Johnson menayangkan iklan politik yang terkenal dengan julukan “Daisy ad”. Iklan itu mengisahkan seorang gadis kecil memetik kuntum bunga daisy seraya menghitung sampai bilangan sepuluh. Kemudian, suara berat terdengar menghitung mundur dari sepuluh ke nol disusul dengan tayangan visual ledakan bom nuklir.
Pesan yang hendak disampaikan dalam iklan politik itu adalah bahwa calon incumbent Barry Goldwater bakal membawa AS dalam kancah perang nuklir apabila terpilih. Meski iklan tersebut hanya ditayangkan satu kali, persoalan bom nuklir menjadi isu sepanjang kampanye. Johnson memenangi pemilu dengan perolehan 61 persen suara, rekor dalam sejarah pemilu Amerika.
Sejak itulah, modus komunikasi politik Johnson ditiru, dikembangkan, dan diadopsi bukan saja oleh para politikus Amerika, tetapi juga di luar Amerika. Tony Blair adalah politikus yang menerapkan komunikasi politik gaya Amerika itu secara total dengan hasil kemenangan telak dan membawa kebangkitan kembali Partai Buruh atas Partai Konservatif di Inggris. Selanjutnya, komunikasi politik yang lebih populer diistilahkan political marketing itu menjadi modus utama komunikator politik di seantero dunia, termasuk Indonesia setelah Soeharto tumbang.
Dalam istilah Stendhal, modus komunikasi semacam itu seperti halnya menembakkan pistol ke udara di tengah keramaian. Letusan tersebut tentu membuat massa mengarahkan perhatian ke arah suara itu. Meraih perhatian publik adalah sasaran utama political marketing. Fokus inilah yang kemudian menggeser aspek esensi dalam komunikasi sehingga muncuk praktik “sensasi lebih penting daripada substansi”. Komunikasi politik lantas terjebak dalam sensasionalisme dengan berlomba-lomba mengejar perhatian publik, dengan semaksimal mungkin memanfaatkan media massa, meskipun harus mengabaikan substansi pesan.
Dampak berikutnya, media massa pun terjebak dalam sensionalisme karena unsur kemenarikan dalam political marketing adalah dahaga bagi media massa. Tabloidisasi media massa tidak terhindarkan, sehingga politik, media massa, dan publik terangkai dalam satu lingkaran yang saling memanfaatkan. Pakar linguistik Noam Chomsky menandaskan keprihatinan pada situasi ini dengan menyebut media massa melakukan praktik manufacturing consent, alias kesepahaman publik sebagai tindakan-tindakan manipulatif melalui mekanisme pembentukan opini publik.
***
Keprihatinan akan sensasionalisme dalam komunikasi politik itu lantas mendorong munculnya teori tentang komunikasi politik yang rasional. Masyarakat perlu dikembalikan pada area komunikasi politik yang rasional karena pada domain itulah demokrasi yang sejati bisa diharapkan. Salah satu pengusung rasionalitas komunikasi politik, Jurgen Habermas, mengembangkan Teori Kritis yang menitikberatkan pada aspek pengetahuan, kepentingan, rasionalitas, dan kebebasan sebagai elemen-elemen untuk membangun komunikasi yang rasional dan pada gilirannya juga partisipatif. Bagi Habermas tindakan komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat partisipan berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi situasi bersama.
Komunikasi politik yang rasional dan partisipatif akan menghindarkan kita dari keterjebakan pada komodifikasi politik, dan politisasi hal-hal yang sebetulnya tidak esensial dan tidak substansial bagi pematangan dan kebenaran politik.
Kembali pada kasus mobil Esemka, kita meyakini apabila pesan yang hendak disampaikan kepada anak-anak muda penerus bangsa adalah pesan semangat, apresiasi atas kerja keras dan kreativitas dengan tindakan nyata berupa mengakui dan menggunakan mobil itu sebagai mobil dinas. Ini tentu langkah yang bagus dari elite politik, sekali lagi dalam konteks apresiasi terhadap karya anak muda.
Komunikasi simbolik ala Jokowi terhadap semangat berkarya generasi muda akan lebih lengkap apabila dilandasi pula dengan komunikasi politik yang rasional dan partisipatif. Dengan demikian, teladan yang hendak diberikan oleh Jokowi tidak ditafsirkan melulu sebagai komunikasi sensasionalisme atau berpaham popularitas belaka. Aspek-aspek pengetahuan, kepentingan, dan rasionalitas perlu dikomunikasikan kepada publik agar keputusan itu tidak berubah menjadi “politisasi mobil Esemka”.
Sebaliknya pula, komunikasi ala Bibit dengan gaya cablaka juga perlu dilengkapi dengan komunikasi politik yang rasional dan partisipatif. Rasionalitas, dengan memberi ruang pada aspek kebebasan, dan kepentingan publik (dalam hal ini semangat berkarya generasi muda) juga akan menghindarkan kemungkinan pesan tentang perlunya pertimbangan-pertimbangan rasional sebagai pejabat publik dalam mengambil keputusan bisa dipahami secara lebih utuh.
Dalam bukunya, Between Facts and Norms (1996), Habermas memperlihatkan bagaimana menyusun argumentasi untuk suatu ruang publik berhadapan dengan struktur politik dan hukum. Habermas memaknai ruang publik tersebut sebagai suatu jaringan untuk mengomunikasikan berbagai informasi dan berbagai cara pandang; arus-arus informasi dalam prosesnya disaring dan diperdebatkan sedemikian rupa, sehingga menggumpal menjadi simpul-simpul opini publik yang lebih spesifik menurut topiknya.
Dengan itu, barulah komunikator melakukan tindakan komunikatif yang memenuhi dua aspek, yakni aspek teleologis dan aspek komunikatif. Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Mengutip Reza AA Wattimena, kemampuan berkomunikasi yang baik untuk mencapai kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan, sehingga integrasi masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat terus dipertahankan.
Semua itu pada akhirnya bermuara pada tercapainya situasi masyarakat yang komunikatif, partisipatif, dan deliberatif. Itulah dasar untuk mencapai kemajuan demokrasi dan kreativitas kehidupan, yang mau tidak mau harus dimulai dari komunikator elite selaku pemegang kekuasaan. Persoalan mobil Esemka hanyalah contoh kecil karena Indonesia memang masih membutuhkan komunikasi politik yang rasional untuk terciptanya masyarakat demokratis-rasional yang terbebas dari ketertindasan terhadap kesadaran palsu.
Komunikasi Politik
Komunikasi Politik
Pengertian
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru.Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Pasalnya, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR.
Pengertian Komunikasi Politik
- Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
- Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
- Process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy. (Perloff).
- Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo). Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.
- Communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political systems (Fagen, 1966).
- Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980).
- Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –“penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).
- Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.
- Wikipedia: Political communication is a field of communications that is concerned with politics. Communication often influences political decisions and vice versa.
- The field of political communication concern 2 main areas: 1. Election campaigns – Political communications deals with campaigning for elections. 2. Political communications is one of the Government operations. This role is usually fullfiled by the Ministry of Communications and or Information Technology.
- Distorsi bahasa sebagai “topeng”; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.
- Distorsi bahasa sebagai “proyek lupa”; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”
- Distorsi bahasa sebagai “representasi”; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh: gambaran buruk kaum Muslimin dan orang Arab oleh media Barat.
- Distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang –monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat. (www.romeltea.com).*
Langganan:
Postingan (Atom)