Komunikasi Politik di Indonesia
Di
era Suharto, DPR sering dijuluki Tiga-D: Duduk, Dengar, Duit.
Komunikasi yang berlaku di masa itu adalah komunikasi searah, yaitu
komunikasi dari atas ke bawah (top-down). Presiden memberikan petunjuk
dan pengarahan, langsung disetujui oleh DPR (yang selalu didominasi oleh
Golkar) dan para menteri serta gubernur. Kemudian Gubernur memberi
petunjuk dan pengarahan kepada DPRD tingkat I dan para Bupati, dan
Bupati ke DPRD tingkat II dan para camat, dan begitu seterusnya sampai
pada tingkat desa.
Untuk
mengelola negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk yang
meningkat terus dari hampir 200 juta, sampai sekarang sudah mencapai 210
juta, dan heterogenitas penduduk yang sangat luar biasa, sistem
komunikasi politik searah ini sudah terbukti sangat efektif selama 32
tahun. Tetapi sistem komunikasi ini terbukti tidak bisa bertahan
selamanya. Bersamaan dengan Krisis Moneter yang berkembang juga menjadi
Krisis Politik, rezim Suharto pun tumbang, dan pola komunikasi langsung
berubah arah: dari bawah ke atas (bottom-up).
Namun
pola komunikasi bawah-atas ini, langsung terbukti sama tidak
efektifnya. Bahkan lebih tidak efektif, karena jika semasa Suharto yang
terasa adalah keluhan pihak-pihak yang frustrasi karena aspirasinya
tidak tersalur (misalnya: kelompok PDI Mega, Petisi 50, mahasiswa dsb.),
pada era pasca-Suharto, yang terjadi adalah anarkhi yang tidak
habis-habisnya, sehingga dalam tempo singkat presiden RI berganti 4
kali. Masalahnya, dalam pola atas-bawah, maupun bawah-atas, sama-sama
tidak terjadi dialog (komunikasi dua arah), yang terjadi hanya monolog
(komunikasi searah).
Dari Monolog ke Dialog
Semangat
dialog nampak sangat mencuat sejak reformasi. Salah satu jargon yang
sangat sering diucapkan dalam menyikapi berbagai masalah adalah “duduk
bersama”. Seakan-akan semua masalah, dari kasus tawuran antar agama di
Ambon dan Maluku Utara, konflik antar etnik di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Selatan, sampai kasus DOM Aceh, Tanjung Priok dan Timor
Timur, dapat diselesaikan asalkan semua pihak mau duduk bersama.
Tetapi
fakta juga membuktikan bahwa duduk bersama saja tidak bisa
menyelesaikan apa-apa, jika semuanya hanya mau bicara dan mau
didengarkan. Padahal menurut ilmu psikologi, salah satu syarat paling
utama untuk sebuah dialog adalah kemampuan untuk mendengar aktif.
Mendengar aktif, artinya bukan hanya bisa mendengar (to hear), tetapi
juga mencari makna dari balik apa yang didengar (to listen), bahkan
orang yang mendengar aktif, mampu menduga hal-hal yang tidak
terungkapkan dalam kata-kata maupun perbuatan. Buat seorang yang
mendengar aktif, “diam” adalah juga jawaban yang mengandung makna.
Karena itu tidak sulit diterka, bahwa untuk mendengar aktif, yang
merupakan prasyarat dari komunikasi yang dialogis, diperlukan kesiapan
mental tertentu, yaitu kesiapan untuk berbagi (sharing), melepaskan
sebagian pendapat, bahkan haknya untuk bisa menerima pendapat atau hak
orang lain. Sikap yang ngotot, mau menang sendiri dan merasa benar
sendiri, jelas bukan hal yang kondusif untuk mendengar aktif.
Dari
pengalaman selama ini, kiranya sulit untuk dibantah bahwa kesiapan
mental untuk berdialog antara lembaga eksekutif dan legislatif di negara
kita masih jauh dari kenyataan. Istilah yang digunakan pun adalah
“hearing” oleh DPR, bukan “listening”. Demikian pula DPR (DPRD)
“memanggil” pemerintah (pemerintah daerah), persis seperti polisi
memanggil tersangka. Sedangkan tata letak kursi-meja di ruang-ruang
sidang komisi adalah sedemikian rupa sehingga ketua dan para wakil
ketua, disertai para anggota duduk berhadapan dengan pemerintah (atau
pihak lain yang didengar), persis sama dengan para hakim dan panitera,
menghadapi terdakwa dan para saksi. Pendek kata, dalam tata-tertib
hubungan pemerintah dan DPR, yang ada adalah hubungan a-simetris (DPR
lebih tinggi dari pemerintah), bukan hubungan simetris (sejajar).
Hubungan
a-simetris tidak selalu berarti jelek. Di lingkungan militer, dan
perusahaan-perusahaan berteknologi tinggi yang menuntut zero error
(misalnya: anjungan penambangan minyak, pesawat terbang atau kapal
laut), dialog tetap bisa terjadi, walaupun pola komunikasinya a-simetris
(tentunya melalui prosedur yang baku dan diberlakukan dengan sangat
ketat). Syaratnya hanya satu: kedua pihak (atasan maupun bawahan)
sama-sama menyadari peran dan posisinya masing-masing.
Masalahnya,
anggota-anggota DPR kita, tidak siap untuk menerima peran dan posisi
setara dalam komunikasi dialogis dengan pemerintah. Walaupun selalu kita
dengar ucapan para politisi itu tentang kemitraan dan kesetaraan
Pemerintah-DPR, yang ada justru pola komunikasi yang a-simetris seperti
yang sudah diutarakan di atas.
Bahkan
lebih memprihatinkan lagi, para anggota DPR ini tidak hanya menganggap
pemerintah sebagai pihak yang statusnya lebih rendah, melainkan juga
sesama anggota DPR sendiri. Itulah sebabnya sebulan pertama, DPR tidak
bisa mulai bekerja, karena dua fraksi besar dalam DPR saling berselisih
dan salah satu fraksi memilih untuk tidak masuk kantor saja selama
sebulan. Lebih hebat lagi, pada saat membahas tentang kenaikan harga
BBM, para anggota DPR bukannya saling adu argumentasi dengan pemerintah,
tetapi malah saling berkelahi di antara mereka sendiri.
Tidak Siap Jadi Elit
Yang
menarik, sebagian dari anggota DPR itu, beberapa saat sebelum dilantik
adalah anggota masyarakat biasa. Ada yang artis, LSM, dosen, kiai dsb.
Sebagai anggota masyarakat biasa, banyak (walaupun tidak semua) yang
mempunyai reputasi yang baik: tidak punya track-record yang jelek,
berintegritas, punya komitmen yang tinggi, pandangan-pandangannya
mewakili pendapat rakyat dan seterusnya. Tetapi justru semuanya berubah
setelah beliau-beliau menjadi anggota badan legislatif. Di daerah pun
gejalanya sama.
Di
lingkungan pemerintah (pusat maupun daerah), ternyata gejalanya tidak
jauh berbeda. Kasus KPU misalnya, kalau pelanggaran pidananya benar
terbukti, menunjukkan kepada kita betapa orang-orang berintegritas
tinggi, bisa berubah sikap begitu masuk ke jajaran elite. Demikian pula
halnya dengan para kepala daerah dan pejabat-pejabat daerah (tingkat
propinsi maupun kabupaten) yang dikenal sebagai orang yang berintegritas
tinggi, namun disuruh turun oleh rakyat begitu mereka menduduki
jabatannya. Di tingkat partai politik, hampir tidak ada orang yang bisa
terpilih menjadi ketua umum, tanpa menuai protes dari kelompok
pesaingnya. Dan sikap yang diambil oleh yang menang maupun yang kalah
adalah sikap konfrontatif (adu otot), karena memang rata-rata orang
Indonesia masih lebih mengandalkan otot ketimbang hati sanubari.
Kesimpulannya,
nampaknya watak bangsa Indonesia hanya baik jika mereka menjadi rakyat
jelata, namun segera berubah ketika mereka masuk ke tingkat elit. Dengan
perkataan lain, sebagian terbesar masayarakat Indonesia hanya siap jadi
rakyat, tetapi tidak siap untuk menjadi elit. Begitu menjadi elit (apa
pun, tidak hanya anggota DPR dan Pemerintah) maka akan terjadi perubahan
mental yang signifikan. Karena itulah orang Indonesia lebih disiplin
kalau dipimpin atau dimanajeri oleh seorang “bule”, ketimbang oleh
pribumi sendiri.
Menurut
para pakar, ada dua macam jalan keluar dari komunikasi yang macet ini.
Sebagian pakar (seperti John Naisbit, penulis buku “Milenium ke-Tiga”,
dan Tu Weiming, Guru Besar Sejarah Agama-agama dari Universitas Harvard)
berpendapat bahwa proses chaos ini akan berakhir sendiri, karena hanya
merupakan bagian dari proses evolusi teknologi komunikasi dan informasi
yang berskala jauh lebih besar, yang pada satu titik akan mencapai
keseimbangan (equilibrium) sendiri secara alamiah (nilai baru, norma
baru, tatanan masyarakat baru dsb. yang lebih adil, lebih manusiawi
dsb.). Tetapi kapan saat itu akan tiba? Tidak ada yang bisa memastikan.
Pendapat
kedua adalah dengan intervensi yang sistimatis dan terprogram.
Paradigma inilah yang ditawarkan Suharto dulu, tatkala ia akan lengser.
Dia menyatakan akan menata dulu pemerintahan selama 6 bulan ke depan,
dan setelah itu ia tidak akan mencalonkan diri lagi menjadi presiden.
Namun rupanya tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh masyarakat yang
sedang haus demokrasi. Pasalnya, memang intervensi atau social
engineering menuntut pengorbanan, seperti: rakyat harus diatur dengan
ketat, beberapa kebebasan ditarik dari masyarakat dsb. (seperti yang
terjadi di Malaysia dan Singapura), padahal hal-hal yang harus
dikorbankan itu, justru yang baru kita peroleh melalui reformasi dan
pengorbanan jiwa. Maka terjadilah seperti yang kita alami sekarang.
Mana
dari kedua strategi itu yang akan diikuti, kiranya akan sangat
tergantung kepada kemampuan dan kemauan pemerintah, khususnya presiden
dan wakilnya. Presiden dan wapres hasil Pemilu langsung sebenarnya
mempunyai posisi yang sangat kuat dan tidak bisa begitu saja di dikte,
apalagi di-impeach oleh DPR. Karena itu ia cukup punya legitimasi untuk
menentukan pola permainan dan komunikasi politik yang akan berlaku.
Kalau perlu dengan sedikit ketegasan. Gejolak pasti terjadi, tetapi
tidak akan lama, karena kalau rakyat sudah melihat manfaatnya, maka
protes akan berhenti dengan sendirinya (analoginya: Busway di DKI,
awalnya sempat mengundang protes, tetapi sekarang hampir semua orang
pernah menikmatinya, dan protes pun segera terhenti dengan sendirinya).
Namun
kalau presiden masih tetap lebih suka mendengarkan dan mempertimbangkan
suara-suara sumbang yang tidak habis-habisnya, termasuk dari golongan
yang sudah jelas-jelas bersalah di mata hukum (seperti pedagang kaki
lima, pengunjuk rasa yang membakar foto Presiden dsb.) demi demokrasi
itu sendiri, maka memang kita tidak bisa mengharapkan banyak dari
komunikasi-komunikasi antara DPR dan pemerintah di masa yang akan
datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar